connect:

Wednesday, July 21, 2010

PENGETAHUAN DAN KESUCIAN MENURUT SAYYID HUSSEIN NASR


PENGETAHUAN DAN KESUCIAN MENURUT SAYYID HUSSEIN NASR
Oleh : Aris Kurniawan

I. Pendahuluan
Banyak kalangan cendikiawan muslim yang menyoroti masalah kemunduran barat dari segi spiritual meskipun ketika itu dunia barat berkembang dari segi ilmu pengetahuan dan material. Tidak jarang cendikiawan muslim yang menganjurkan untuk mengambil nilai nilai barat sebagai pelengkap bagi kemajuan islam karena semakin lama peradaban islam semakin mengalami kemunduran.
Salah satunya adalah Sayyid Hussein Nasr yang menghubungkan ilmu pengetahuan dengan nilai nilai spiritual agama islam. Salah satu konsep beliau yang terkenal adalah tradisionalisme islam. Yang akan sedikit saya bahas dalam makalah ini. Pengetahuan dalam hubungannya dengan kesucian
Sayyed Hussein Nasr yang mencoba menawarkan konsep nilai-nilai ke-islaman yang terkenal dengan sebutan Tradisionalisme Islam, yang merupakan gerakan respon terhadap kekacauan Barat modern yang sedang mengalami kebobrokan spiritual. Nasr menyarankan agar Timur melihat barat sebagai contoh, dan mengambil hikmah dan pelajaran sehingga Timur tidak mengulangi kesalahan-kesalahan Barat.
II. Pembahasan
Pandangan Sayyid Hussein Nasr mengenai pengetahuan bisa kita lihat dari konsepnya mengenai tradisionalisme islam, yang juga mengandung penjelaasn tentang pandangannya mengenai kesucian. Menurut Sayyed Hussein Nasr, selama ini gerakan-gerakan fundamentalis atau revivalis Islam tak lebih merupakan dikotomi tradisionalisme-modernisme, keberadaannya justru menjadi terlalu radikal dan terlalu mengarah kepada misi politis dari pada nilai-nilai keagamaan. Sekalipun gerakan-gerakan seperti itu, atas nama pembaharuan-pembaharuan tradisional Islam.
Pemahaman masyarakat yang kurang mengenai fundamentalisme islam dan tradisionalisme islam menyebabkan kedua hal ini dianggap sama. Padahal perbedaan keduanya bukan hanya dari kandungannya saja tetapi juga dari kegiatan yang dilakukan. Gerakan Tradisonalisme Islam yang ditawarkan oleh Nasr, merupakan gerakan untuk mengajak kembali ke ‘akar tradisi’; yang merupakan Kebenaran dan Sumber Asal segala sesuatu; dengan mencoba menghubungkan antara sekuler (Barat) dengan dimensi ke-Ilahiahan yang bersumber pada wahyu Agama. Karena pengetahuan di barat lebih berkembang daripada islam ketika itu. Agar nilai kesucian dari agama islam dapat menjiwai pengetahuan itu.
Tradisionalisme Islam adalah gambaran awal sebuah konsepsi pemikiran dalam sebuah bentuk Sophia Perenneis (keabadian). Tradisonalisme Islam boleh dikatakan juga disebut sebagai gerakan intelektual secara unversal untuk mampu merespons arus pemikiran Barat modern yang merupakan efek dari filsafat modern yang cenderung bersifat profanik, dan selanjutnya untuk sekaligus dapat membedakan gerakan Tradisionalisme Islam tersebut dengan gerakan Fundamentalisme Islam, seperti halnya yang dilakukan di Iran, Turki dan kelompok fundamentalis lain.
Usaha Nasr untuk menelorkan ide semacam itu paling tidak merupakan tawaran alternatif sebuah nilai-nilai hidup bagi manusia modern maupun sebuah negara yang telah terjangkit pola pikir modern (yang cenderung bersifat profanik dengan gaya sekuleristiknya) untuk kemudian kembali pada sebuah akar tradisi yang bersifat transedental, atau dengan kata lain beliau berusaha menjadikan ajaran agama islam sebagai pondasi dasar perkembangan ilmu pengetahuan.
Islam Tradisional mempertahankan syariah sebagai hukum Ilahi sebagiamana ia dipahami dan diartikan selama berabad-abad dan sebaimana ia dikristalkan dalam madzab-madzab klasik. Hukum menyangkut kefustifikan, Islam Tradisionalme mempertahankan Islamitas seni Islam, kaitannya dengan dimensi batini, wahyu Islam dan kristalisasi khazanah spiritual Agama dalam bentuk-bentuk yang tampak dan terdengar, dan dalam domain politik, Perspektif tadisional selalu berpegang pada realisme yang didasarkan pada norma-norma Islam.
Manusia tentu saja tidak bisa mengangkat dirinya secara spiritual dengan begitu saja. Karena itu manusia memerlukan petunjuk Tuhan dan harus mengikuti petunjuk itu, agar dia dapat menggunakan seluruh potensi yang dimilikinya dan agar ia mampu mengatasi rintangan dalam menggunakan akalnya. Nasr berkeyakinan bahwa akal dapat mendekatkan manusia kepada Tuhan apabila akal itu sehat dan utuh (salim), dan hanya petunjuk Tuhan yang menjadi bukti yang paling meyakinkan dari pengetahuan-Nya yang dapat menjamin keutuhan dan kesehatan akal, sehingga akal dapat berfungsi dengan baik dan tidak terbutakan oleh nafsu keduniawian. Setiap orang membutuhkan petunjuk Tuhan dan nabi yang membawa petunjuk itu, kecuali ia sendiri terpilih, atau menjadi orang suci yang merupakan pengecualian.
Yang harus kita lakukan sekarang adalah mengusahakan agar bagaimana iman, ilmu, dan teknologi senantiasa selalu berjalan beriringan. Dan mengembalikan posisi kemanusiaan dalam tempat semula yang lebih baik. Seperti yang telah dikatakan Yusuf Qardhawi, manusia barat telah membuka tabir pengetahuan yang cukup banyak. Tetapi mereka tidak mampu menguak misteri dibalik wujudnya. Mereka telah mengetahui pengetahuan fisik, tetapi tidak dapat menundukan nafsunya. Mereka telah mendapatkan nuklir, tetapi gagal mendapatkan ideologi dan spiritnya.
Sangat indah apa yang telah dikatakan filosof India ditunjukan kepada salah seorang pemikir Barat, “Sudah cukup baik, kalian terbang tinggi di udara bagai burung. Kalian telah menyelam ke dasar laut seperti ikan. Namun kalian sama sekali tidak berjalan baik di muka bumi ini seperti layaknya manusia. Mungkin inilah yang bisa kita sebut sebagai krisis identitas. Peradaban barat yang maju dari segi materi, ternyata telah gagal memahami manusia sebagai makhluk yang multi dimensia. Manusia bukan hanya sebatas makhluk yang mengandalkan kemampuan indera dan akal, tetapi lebih dari itu ia adalah makhluk Tuhan yang mengemban amanat dari Tuhannya untuk menjadi pemimpin dan pengelola segala potensi yang ada di dunia ini, untuk kemudian dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan.
Manusia modern harus kembali diingatkan dan diarahkan kepada kesucian, Tuhan yang merupakan asal dan sekaligus pusat dari segala sesuatu dan kepadanyalah manusia kembali. Tentulah sudah merupakan suatu konsekuensi apabila manusia harus mengabdi pada Tuhan. Pemisahan manusia dari kesempurnaan aslinya dan seluruh nilai-nilai ambivalen yang dimilikinya tentu hanya akan menggiring manusia pada apa yang dikatakan Kristen “kejatuhan”, tidak ada fungsi kekuatan-kekuatan ini yang semestinya dan secara otomatis menurut sifat teomorfis manusia. Manusia berada dalam belenggu kebebasan yang semu. Kepada merekalah tradisi agama seharusnya disampaikan dan manusia-manusia batiniah inilah yang hendak dibebaskan treadisi dari belenggu ego dan keadaan yang mencekik. karena sebuah aspeknya dilupakan dan dianggap sama sekali eksternal, yaitu kesucian. Hanya tradisi islam yang dapat membebaskan mereka, bukan agama-agama palsu yang pada saat ini sedang bermunculan.
Sebagian orang Barat sebenarnya telah menyadari bahwa ada penyakit dalam peradaban mereka yang padahal sudah sangat modern. Mereka melihat bahwa peradabannya telah menghanguskan fitrah manusia, menghadang ketentraman jiwa, dan meruntuhkan nilai-nilai kemanusiaan. Diantara mereka adalah Bernard Shaw lewat dramanya, Spengler, lewat bukunya Runtuhnya barat, Toynbee, lewat buku-buku sejarahnya, Alexis Carell dengan bukunya yang terkenal Al- Insaan dzaalikal Majhuul (Unknown Man/ Misteri Manusia), dan yang lain. Hanya saja mereka merupakan pribadi yang sebelumnya telah banyak diracuni penyakit, dan setelah itu mereka tidak tahu untuk mengobatinya. Obat itu ada pada peradaban kita yang Illahiyah., Insaniyah, dan Universal. Suatu peradaban haq, bajik, seimbang serta adil yaitu peradaban islam.
III. Kesimpulan
Pemikiran sayyid nasr mengenai integrasi antara pengetahuan dan kesucian yang beliau wujudkan dalam konsep mengenai tradisionalisme islam mengandung semangat pembaharuan (tajdid) yang merupakan cita-cita Nasr untuk mengembalikan Islam pada kedudukannya semula yang sekarang ini sudah banyak terkontaminasi modernisasi barat yang sekuler, dan meninggalkan nilai-nilai Ilahiah dan insaniah. Nasr kemudian mengindentikan tajdid dengan renaisans yang menurut pengertian yang sebenarnya. Suatu renaisanas dalam Islam berkaitan dengan tajdid, atau pembaruan, yang dalam konteks tradisional diidentikan dengan fungsi dari tokoh pembaruan (mujaddid) tersebut. seorang mujaddid berbeda dengan seorang tokoh reformasi karena ia bersedia mengorbankan sebuah aspek tradisi agama, demi faktor ketergantungan tertentu yang paling ditonjolkan mereka sebagai mereka sebagai hal yang sangat mempesona, karena dikatakan kondisi zaman yang tak dapat dihindari atau ditolak.
Pembaruan yang dilakukan Nasr adalah mengembalikan manusia pada asalnya sebagaimana telah dilakukan manusia dalam perjanjian dengan Tuhannya, dari kealpaan tentang dirinya, sehingga membuat dirinya jatuh kedalam belenggu rasionalitasnya yang meniadakan Tuhan. Manusia menurut Nasr, pada awalnya adalah makhluk suci, namun karena penolakannya kepada Tuhan melalui tradisi Ilmiah telah membuat dirinya tak mengenal siapakah sesungguhnya dirinya dihadapan Tuhannya. Nasr berpendapat bahwa pembaruan tidak bisa hanya dilakukan dari sisi materi saja, tetapi juga yang paling dasar adalah melakukan perubahan dari dalam dirinya sendiri, untuk kemudian ia melakuan pembaruan terhadap realitas yang ada disekitarnya.
III. Daftar Pustaka
1. Afif , Muhammad. 2004. Dari Teologi Ke Ideologi. Bandung: Mizan
2. Munir.A, dan Sudarsono. 1994. Aliran Modern dalam Islam. Bandung: Pustaka Setia
3. Sasono, Adi. 2003. Solusi Islam Atas Problematika Umat. Jakarta: GIP
4. Yusuf Qardhawi, Keprihatinan Muslim Modern, 1995. Jakarta: GIP
5. Lubis, Solly. 2004. Umat Islam Dalam Globalisasi. Jakarta: GIP

1 comment:

  1. ow ya,,,kalau boleh tahu ni,,,kenapa gak pakai bukunya beliau sendiri...

    ReplyDelete

silakan komen bozz asal sopan ,,, :-)