KEKUASAAN TUHAN (Menurut Pandangan Berbagai Aliran Pemikiran dalam Islam)
MAKALAH ILMU KALAM
KEKUASAAN TUHAN
(Menurut Pandangan Berbagai Aliran Pemikiran dalam Islam)
Dosen : Drs. Saifurrahman Nawawi
KEKUASAAN TUHAN
(Menurut Pandangan Berbagai Aliran Pemikiran dalam Islam)
Dosen : Drs. Saifurrahman Nawawi
Oleh : Aris Kurniawan
Semester : III
Fak / Jur : Dakwah
Asal : Pekalongan, Jawa Tengah
Semester : III
Fak / Jur : Dakwah
Asal : Pekalongan, Jawa Tengah
Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien (IDIA) Prenduan
Sumenep Madura
Tahun Akademik 2010-2011
Sumenep Madura
Tahun Akademik 2010-2011
KEKUASAAN TUHAN
Oleh: Aris Kurniawan
(Mahasiswa Semester III Fakultas Dakwah Asal Pekalongan)
Oleh: Aris Kurniawan
(Mahasiswa Semester III Fakultas Dakwah Asal Pekalongan)
I. Pendahuluan
Ada banyak pendapat dari para pemikir islam mengenai dzat dan sifat Allah. Sejak setelah rosulullah wafat mulai muncul pemikiran yang begitu beragam dari umat islam sendiri. Hal ini bukan karena kurangnya penjelasan tentang dzat dan sifat Allah di dalam Al-Qur’an tetapi karena pemahaman dan penafsiran manusia terhadap ayat ayat itu. Perbedaan penafsiran ini dipengaruhi ileh banyak faktor, seperti latar belakang pendidikan, wilayah, pola pikir, dan juga terkadang orientasi tertentu.
Ada yang mengatakan bahwa para pemikir islam dipengaruhi oleh pemikiran agama agama yang dahulu, tetapi ada yang membantahnya dan mengatakan bahwa islam mempunyai corak pemikirannya tersendiri (filsafat islam). Walaupun begitu pasti terdapat kemiripan antara teori yang dikemukakan oleh pemikir muslim dengan pemikir yunani, Kristen, ataupun yang lainnya.. karena memang suatu umat tak bisa lepas dari pengaruh umat yang sebelumnya walaupun pengaruh itu kecil.
Mengenai kekuasaan Tuhan sebenarnya ada banyak ayat yang membahas tentang kekuasaan Tuhan, baik itu Hadis ataupun Al-Qur’an. Karena banyaknya ayat itulah manusia mulai memikirkan dan mengemukakan pemahaman mereka tentang seperti apa atau sejauh mana kekuasaan Allah itu.
Perdebatan mengenai masalah kekuasaan Tuhan muncul karena rasa keingintahuan umat islam yang tinggi terhadap Tuhannya, sehingga ingin mengetahui dzat Tuhan walaupun mereka tahu bahwa pemikiran mereka tidak akan sampai pada kesimpulan dengan kebenaran yang mutlak. Tetapi dengan alasan ingin menambah keyakinan terhadap Tuhan dan agar mempunyai kemampuan berdebat dengan orang non islam mengenai masalah keTuhanan mereka tetap mempelajari ilmu kalam.
Meskipun imam mazhab yang empat dan imam imam yang lain melarang mempelajari ilmu ini bahkan menurut para imam ini mempelajari ilmu kalam tidak ada gunanya jika dihubungkan dengan kehidupan beragama.
II. Pembahasan
Mengenai kekuasaan Allah tentu saja kita akan merujuk kepada ayat ayat yang menjelaskan hal itu. Tetapi untuk membahas hal ini tidak boleh hanya mengambil sebagian ayat dan meninggalkan sebagian yang lain. Karena ayat yang satu dan yang lain saling berhubungan.
Dalam kaitannya dengan kekuasaan Allah ada ayat yang berbunyi:
… ان الله على كل شيء قدير
“...sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu”(Al Baqoroh : 20)
Menurut tafsir al maraghi pernyataan ini berarti bahwa apa yang dikehendaki Allah, maka hal tersebut tentunya pasti ada. Sebab bagi Allah tidak ada sesuatu yang tidak bisa, baik di bumi maupun dilangit, semuanya bisa dilakukan Allah .
Pendapat ini sejalan dengan al ghazali yang mengemukakan bahwa salah satu sifat ma’ani Allah adalah qudrah (maha kuasa) sehingga perbuatan Allah tidaklah terbatas dalam menciptakan alam saja, tetapi juga dalam menciptakan perbuatan manusia dan ikhtiarnya. Sehingga perbuatan manusia tidak terlepas dari kehendak Allah. Manusia hanya diberi kekuasaan yang terbatas dalam lingkungan kehendak Tuhan dan tidak akan melampaui garis garis qadar. Alghazali berpendapat berdasarkan firman Allah “Allah sesatkan siapa saja yang dikehendakinya dan ia beri hidayah orang yang dikehendakinya”
Ayat tersebut memang dengan jelas menyatakan bahwa Allah dapat melakukan apapun yang dikehendakinya kepada siapapun sehingga semua yang ada di alam semesta ini tidak ada yang lepas dari kuasa Allah. Tetapi jika dihubungkan dengan perbuatan manusia yang tidak lepas dari kehendak Allah maka apakah Allah tidak berlaku dhalim terhadap makhluknya ketika Allah menyiksanya karena kesalahan yang diperbuatnya padahal perilakunya tidak lepas dari kehendak Allah. Maka dalam konteks tertentu pendapat ini tidak bisa dipakai karena jika kehendak dan kekuasaan Allah terhadap makhluk berlaku secara mutlak dan menyeluruh, kemudian dihubungkan dengan siksa Allah maka apakah tidak dhalim jika Allah menyiksa makhluk yang berbuat salah bukan karena kehendaknya sendiri.
1. Pendapat Imam Abu Hanifah
Mengenai kekuasaan Allah Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa Allah tidak disifati dengan sifat sifat makhluknya, dan kita menyifati Allahsebagaimana Allah menyifati dirinya sendiri. Allah juga hidup, berkuasa, melihat, dan mengetahui. Tetapi kesemuanya itu tidak sama dengan apa yang dimiliki oleh makhluk ataupun manusia. Sehingga sifat Allah tidak boleh direka reka bentuknya, dan juga tidak boleh disebutkan bahwa tangan Allah itu artinya kekuasaannya dan nikmatnya, atau bahwa murka Allah adalah siksanya dan ridha Allah adalah pahalanya, karena hal itu berarti meniadakan sifat sifat Allah, sebagaimana pendapat yang dipegang oleh ahli qadar dan golongan muktazilah. Beliau juga menyatakan bahwa orang yang menyifati Allah dengan sifat sifat manusia berarti ia telah kafir.
Allah memiliki sifat dzatiyah dan fi’liyah. Sifat dzatiyahnya adalah hayah (hidup), qudrah (mampu), ilm (mengetahui), sama’ (mendengar), bashar (melihat), dan iradah (kehendak). Serta sifat fi’liyahnya adalah menciptakan, memberi rizki, membuat, dan lain lain yang berkaitan dengan sifat sifat perbuatan.
Imam Abu Hanifah berkata bahwa Allah berada di langit bukan di bumi, kemudian ada orang yang bertanya “tahukah anda bahwa Allah berfirman “Allah itu bersamamu”, beliau menjawab bahwa ungkapan itu seperti orang yang menulis surat kepada seseorang yang isinya, saya akan selalu bersamamu padahal kamu jauh darinya.
Dari pendapat Abu Hanifah diatas kita dapat melihat bahwa beliau sangat menentang golongan yang memikirkan tentang seperti apa sifat sifat Allah itu, karena akibat dari penafsiran mereka tentang sifat sifat Allah itu menyebabkan mereka saling bermusuhan karena berbeda pendapat sehingga beliau melarang pembelajaran ilmu kalam.
Imam Abu Hanifah secara tidak langsung mengatakan bahwa kekuasaan Allah itu tidak sama dengan kekuasaan makhluk. Kekuasaan Allah meliputi segala sesuatu sehingga tidak ada yang luput dari kuasanya termasuk untuk membuat seseorang menjadi kafir ataupun mukmin. Karena menurut beliau “di dunia ini dan akhirat tidaklah ada dan terjadi sesuatu kecuali berdasarkan kehendak Allah”, dan beliau lebih lanjut menjelaskan bahwa semua perbuatan hamba, baik yang bergerak ataupun diam, merupakan usahanya, dan Allah yang menciptakannya. Semua perbuatan itu berdasarkan kehendak, pengetahuan, penetapan dan qadar Allah.
2. Pendapat Imam Malik
Sebagaimana Imam Abu Hanifah, Imam Malik juga sangat menentang golongan yang menggunakan rasionya untuk memikirkan dzat dan sifat Allah, bahkan beliau mengatakan bahwa orang yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk, dia harus dihukum cambuk dan dipenjara sampai dia bertaubat . Beliau berkeyakinan bahwa Allah di langit dan ilmu (pengetahuan) Allah meliputi setiap tempat. Dan beliau yakin bahwa ketetapan Allah sudah ditentukan telebih dahulu, yaitu sesuai firman Allah “sekiranya kami menghendaki, kami akan memberikan petunjuk kepada semua orang. Tetapi tetaplah keputusanku, bahwa aku akan memenuhi neraka jahanam dengan jin dan manusia semuanya (As-Sajdah :13).
Beliau menentang pendapat kelompok qadariyah yang menyatakan bahwa Allah tidak menciptakan maksiat, dan manusia itu mempunyai kemampuan, yang jika mau bisa menjadi orang orang taat atau menjadi orang orang yang durhaka.
3. Pendapat Imam Syafi’i
Imam Syafi’i mempunyai aqidah yang sejalan dengan imam abu hanifah dan imam malik. Karena imam syafi’i termasuk juga dalam ahlussunah wal jamaah. Mengenai masalah kekuasaan Allah imam syafii mengatakan bahwa masalah makhluk yang bisa dilihat dengan mata kepala saja kita masih banyak yang tidak tahu, apalagi mengenai masalah ilmu pencipta makahluk itu. Kemudian Imam Syafi’i menyuruh untuk menjadikan makhluk sebagai bukti atas kekuasaan Allah, dan jangan memaksa diri untuk mengetahui hal hal yang tidak dapat dicapai oleh akal.
4. Pendapat Abu Musa Al Asy’ari
Al Asy’ari dalam kitabnya Al Ibanah menyatakan bahwa Allah tidak tunduk kepada siapapun, diatas Tuhan tidak ada suatu zat lain yang dapat membuat hokum dan dapat menentukan apa yang boleh dibuat dan apa yang tidak boleh dibuat oleh Tuhan. Tuhan bersifat absolute dalam kehendak dan kekuasaannya.
Menurut paham Asy’ariyah Tuhan dapat meletakkan beban yang tak terpikul pada diri manusia, dan jika sekiranya Tuhan mewahyukan bahwa berdusta itu baik, maka berdusta mestilah baik bukan buruk.
Paham ini meletakkan kekuasaan Allah diatas segalanya dan berlaku terhadap segala sesuatu, sehingga manusia pada hakikatnya tidak mempunyai daya dan kekuasaan apapun untuk berbuat sesuatu kecuali jika kekuasaan dan kemurahan Allah mendukung perbuatan itu, meskipun perbuatan itu baik ataupun buruk harus melalui persetujuan Allah. Sehingga keadilan menurut asy’ariyah adalah bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluknya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya dalam kerajaannya, sebaliknya ketidak adilan adalah menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, yaitu berkuasa mutlak terhadap hak milik orang
Jadi menurut Asy’ariyah semua system nilai yang ada baik itu baik buruk, benar salah, adil ataupun dhalim semuanya dipandang dari sudut kekuasaan Allah, sehingga apapun yang diperbuat Allah kepada makhluknya merupakan suatu hal yang benar meskipun menurut pandangan manusia hal itu salah.
Bagi Al-Asyari maupun Mu’tazilah Allah mempunyai keadilan dan kekuasaan, bagi Mu’tazilah keadilan Allah lebih besar dari kekuasaan, Allah akan menghukum orang yang bersalah dan memberi pahala bagi yang berbuat baik. bagi Al-Asyari kekuasaan Allah melebihi keadilannya. Karena Allah maha kuasa atas segala sesuatu.
Menurut Al-Asyari faham perbuatan manusia pada hakekatnya adalah perbuatan Tuhan dan diwujudkan dengan daya Tuhan dan bukan adanya manusia, Ditinjau dari sudut paham ini, pemberian beban yang tidak dapat dipikul tidaklah menimbulkan persoalan bagi Asy-ariyah, manusia dapat melaksanakan beban yang tidak dipikulnya karena yang mewujudkan perbuatan manusia bukanlah daya manusia tapi daya Tuhan yang tak terbatas.
Kaum Asyari karena percaya akan kemutlakan kekuasaan Tuhan berpendapat bahwa perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan, yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu semata-mata adalah kekuasaan dan kehendak mutlakNya dan bukan kerana kepentingan manusia atau tujuan yang lain. Maka mengartikan keadilan dengan menempatkan sesuatu pada tempatnya yang sebenarnya, yaitu mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang dimiliki serta menpergunakannya sesuai dengan kehendakNya, Dengan demikian, keadilan Tuhan mengadung arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap mahluknya dan dapat berbuat sekehendaknya.
5. Pendapat Muktazilah
Aliran muktazilah banyak menghasilkan pemikir pemikir besar pada masa abad ke 7 sampai abad ke 13, yang diantaranya adalah Ibnu Sina dan Al Khawarizmi, karena pada masa itu muktazilah menjadi mazhab resmi negara. Aliran Mu’tazilah mengakar dari paham qadariyah, Menurut Harun Nasution, ada 5 pokok ajaran Mu’tazilah yang menjawab masalah akal dan wahyu dalam menjawab persoalan teologis yaitu:
1. Al-Tauhid , yaitu Kemahaesaan Tuhan , Tuhan Maha Esa , zat yang Unik dan tiada yang serupa dengan dia. Tuhan adalah zat tunggal tanpa sifat, karena menurut mereka Tuhan melakukan sesuatu dengan zatnya, sehingga sifat Tuhan itu tidak ada.
2. Al-adl, yaitu Keadilan Tuhan, Dari sini timbullah paham kebebasan manusia dalam kehendak dan perbuatan, manusia harus bertanggung jawab kepada perbuatannya. Karen aperbuatan manusia diatas dunia ini dibuat dan diciptakan oleh manusia itu sendiri, baik itu perbuatan baik ataupun buruk, dan Tuhan tidak tahu apa yang akan dikerjakan oleh manusia. Dalam hal ini Ibnu Sina berpendapat bahwa Allah tidak mengetahui hal hal yang khusus.
Wajib bagi Tuhan berbuat baik kepada manusia, mengirin nabi-nabi untuk menyampaikan segala yang diketahui akal, wajib untuk tidak memberi beban diluar batas kemampuan, terikatnya Tuhan kepada janjijanji-Nya dan sebagainya,
3. Al-Wa’ad wa al wa’id, memiliki arti Tuhan wajib memberi pahala bagi orang yang berbuat baik dan wajib menghukum orang yang berbuat mungkar di akherat.dan orang yang berbuat dosa tidak akan diampuni Nya lagi kalau ia wafat sebelum bertaubat dan akan terus berada di neraka.
4. Al Manzilah bayn al –manzilatain, yaitu pemposisian di tengah bagi pembuat dosa besar , mereka tidak kafir tetapi juga tidak mukmin, tidak surga dan tidak juga neraka, tapi posisi siksa ringan yang terletak diantaranya. Begitu juga dengan orang mukmin yang berbuat dosa.
5. Al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy an Al-munkar yaitu suatu perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat yang berhubungan dengan usaha membina moral dan suatu kontrol sosial. Tetapi nilai baik dan buruk itu ditentukan oleh mereka bukan dari alqur’an ataupun Hadis
6. Aliran Qadariyah
Qadariyah adalah aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi perbuatannya sendiri, penekanan pada kebebasan manusia dalam mewejudkan perbuatannya.
Manusia dinilai mempunyai kekuatan melaksanakan kehendaknya, menentukan keputusan . dalam surat Al-Rad ayat 11, Allah berfirman:”Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu bangsa, kecuali jika bangsa itu mengubah keadaan diri mereka sendiri. Pendapat mereka sebagian besar sama dengan muktazilah hanya saja kalau muktazilah mengatakan baha perbuatan menusia yang baik dijadikan Tuhan, dan yang buruk tidalk dijadikan oleh Tuhan, sedangkan qadariyah menyatakan bahwa baik dan buruk tidak dijadikan oleh Allah
7. Aliran Jabariyah
Jabara mengandung arti memaksa, menurut Al-Syahrastani, jabariah berarti menghilangkan perbuatan dari hamba seorang hakikat dan menyadarkan perbuatan tersebut kepada Allah SWT. Paham ini diduga telah ada sejak sebelum agama Islam datang kemasyarakat arab.
Mereka pada mulanya merupakan pengikut ahlussunah wal jamaah, tetapi mereka lebih ekstrim menyatakan bahwa sekalian yang terjadi di alam ii pada hakikatnya dijadikan oleh Tuhan, sehingga kalau orang meninggalkan sholat ataupun melakukan kejahatan maka semuanya tidak apa apa karena hal itu dijadikan oleh Allah.
Dihadapan alam yang tandus, ganas, berpasir, indah namun kejam, menyebabkan jiwa mereka dekat kepada Zat yang Maha. Dengan semata-mata tunduk, patuh pasrah. Al-Saffat ayat 96, ditegaskan : Allah, menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat.
8. Aliran Maturidiyah
Abu Mansur ibnu mahmud al-Maturidi adalah pengikut Abu Hanifah dan pahamahan teologi nya banyak persamaan dengan Abu Hanifah. Pendapatnya tentang perbuatan manusia, Al-Maturidi sependapat dengan golongan Mu’tazilah, bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan perbuatannya. Dengan demikian ia mempunyai faham Qadariyah dan bukan jabariah, Mengenai orang yang berdosa besar masih tetap mukmin dan soal dosa-dosa besarnya akan ditentukan Tuhan kelak di akherat, iapun menolak paham posisi menengah kaum Mu’tazilah,
III. Kesimpulan
Dari berbagai pendapat aliran pemikiran islam mengenai kekuasaan Tuhan tentunya akan mempengaruhi pola piker manusia itu sendiri, karena hal itu merupakan hal yang mendasar dalam agama, tetapi merupakan hal yang ghaib yang hanya bias dipahami dari apa yang telah diwahyukan Allah.
Dalam menafsirkan wahyu Allah itulah manusia berbeda pendapat karena pemikiran dan pengetahuan yang berbeda beda pada masing masing kelompok dan tentusaja pendapat mereka itu semuanya benar menurut pengikutnya masing masing, dan salah menurut pengikut aliran yang lain.
Hal ini menjadi penghalang bagi kesatuan umat islam dari jala tauhid, karena walaupun Tuhan mereka sama yaitu Allah tetapi tentang sifat dan kekuasaan Allah itu mereka mempunyai pendapat masing masing yang kesemua pendapat itu mempunyai dalilnya dalam Al-Qur’an.
Entah Allah berkuasa penuh atas semua ciptaannya ataukah Allah telah memberikan sebagian kekuasaannya kepada makhluknya sehingga Allah tidak mengetahui lagi apa yang akan terjadi berikutnya, itu semua hanya merupakan pendapat dari keterbatasan pemikiran manusia. Karena Allah laisa kamislihi syai’in, yaitu tidak ada yang serupa dengannya dalam hal apapun, bahkan kekuasaan sekalipun. Karenanya kriteria kekuasaan manusia tidak akan menjadi criteria kekuasan bagi Allah
IV. Daftar Pustaka
1. Abbas Sirajuddin. I’tiqad Ahlussunah Wal Jamaah. 2008.Jakarta. Pustaka Tarbiyah Baru
2. Al-Khumais, Muhammad bin Abdurrahman. Aqidah Empat Imam. 2003. Jakarta: Kedutaan Besar Saudi Arabia
3. Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir Al-Maraghi.1992. Semarang : Toha Putra
4. Ali, Yunasril. Perkembangan pemikiran falsafi dalam islam. 1991. jakarta : bumi aksara
5. Nasution, Harun. Teologi Islam. 2007. Jakarta: UI Press
6. DR. Liza. Islam dalam Berbagai Dimensi Pemikiran dan Sejarah. Pasca Sarjana STAIN Cirebon. 2007
7. Prof. Dr. Adang Djumhur Salikin, M. Ag. Guru Besar Dan wakil Direktur Pascasarjana STAIN Cirebon 2007
0 comments:
Post a Comment
silakan komen bozz asal sopan ,,, :-)