connect:

Wednesday, July 21, 2010

kontroversi penerapan perda syariat islam


Kontroversi penerapan perda syariat islam
Oleh : Aris Kurniawan (Mahasiswa Fakultas Dakwah BPI semester IV asal Pekalongan Jawa Tengah)

Bangsa indonesia adalah abangsa yang majemuk yang terdiri dari berbagai macametnis dan golongan. Dengan kondisi yang seperti itu bangsa indonesia tentunya memerlukan cara yang khusus untuk mengatur warganya. Dan karena labar belakang sejarah bangsa indonesia yang merupakan bangsa yang sangat besar maka aturan itu haruslah mencakup seluruh aspek masyarakat, dan bukan hanya golongan tertentu saja.
Belakangan ini muncul beberapa daerah yang ingin menerapkan syariat islam di wilayahnya. Hal ini tidak aneh mengingat wilayah itu mempunyai hak otonomi daerah. Dan pemberrlakuan perda itu merupakan kebijakan yang dianggap paling baik oleh jajaran pemerintahan di wilayah tertentu. Dan beberapa memang terbukti bahwa perda syariat ini mempunyai dampak yang positif bagi masyarakat, yaitu angka kriminalitas menurun.
Secara legal-formal pemberlakuan syariah Islam di era otonomi daerah ditetapkan terutama lewat peraturan daerah (perda) yang memiliki kekuatan hukum atau politis. Meski Undang-Undang Nomor 22/1999 tentang otonomi daerah tidak memberi wewenang bidang peradilan dan agama kepada daerah, tetapi dalam praktiknya, perda-perda itu menyentuh persoalan agama dan quasi-peradilan. Karenanya, keberadaan perda-perda syariah itu perlu terus dikaji untuk menguji, apakah peraturan-peraturan daerah tersebut bertentangan dengan undang-undang dan Konstitusi atau tidak. Apalagi dalam penelitian ini ditemukan bahwa perda syariah tidak jarang menimbulkan kontroversi serta memicu perdebatan dalam masyarakat, walaupun kelompok yang mendukung keberadaan perda lebih besar daripada kelompok yang menolaknya.
Memang setelah penerapan perda syariat itu ada banyak tentangan dari beberapa pihak yang meminta aturan itu untuk dievaluasi lebih lanjut dampak dan manfaatnya. Pada bulan juni 2006 ada sekitar 56 anggota DPR mengeluarkan petisi keberatan terhadap sejumlah peraturan daerah bernuansa syariat Islam di beberapa daerah. Sebagian mengajukan evaluasi ulang untuk perda tersebut dan yang lainnya berpendapat bahwa perda itu dinilai melanggar amanat konstitusi dan ideologi negara yaitu Pancasila.
Dari artikel liputan 6 ada beberapa daerah yang sudah menerapkan perda syariat islam. Perda bernuansa syariat Islam salah satunya diberlakukan Pemerintah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Melalui Surat Keputusan Bupati Nomor 451/2712/ASDA.I/2001, lahirlah Gerbang Marhamah (Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlakul Karimah). Salah satu wujud pemberlakuan SK tersebut, aparatur Gerbang Marhamah dibantu masyarakat merazia pemakaian jilbab.
Selain Cianjur, terhitung ada 22 daerah yang menerapkan perda bernuansa syariat Islam. Di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan misalnya, diberlakukan Perda Minuman Keras serta zakat, infak, dan sedekah. Demikian pula di Kota Madya Tangerang, Banten yang dipayungi Perda Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelacuran.
Menurut T.Yulianto penerapan perda syariat islam ini memunculkan dua pendapat, yang setuju dan yang tidak setuju. Ada kalangan yang setuju, terutama dari kelompok Islam politik (elite politik), menganggap adanya perda tersebut bisa menjadi media sosial untuk memberantas berbagai penyakit masyarakat seperti kemaksiatan, perjudian, yang umumnya dilakukan oleh masyarakat kecil.
Mereka memiliki argumentasi bahwa keberadaan perda syariat Islam adalah untuk memperbaiki moral bangsa. Selain itu juga sebagai jalan menuju negara Islam melalui gerakan arus bawah, karena untuk mengubah UUD 45 dengan Piagam Djakarta membutuhkan perjuangan yang lama.
Sedangkan kalangan yang menolak pemberlakukan perda syariat Islam beranggapan bahwa Perda tersebut bertentangan dengan Pancasila dan substansi perundang-undangan di atasnya. Selain itu juga berpotensi melahirkan perpecahan bangsa, karena wilayah tertentu yang tidak dihuni penduduk mayoritas Islam suatu saat juga akan memberlakukan syariat agama yang mereka anut.
Memang ada sisi positif yang berpengaruh terhadap prilaku masyarakat. Di Kabupaten Bulukumba, penerapan perda bernuansa syariat Islam terbukti mampu menurunkan angka kriminalitas. Kasus pencurian misalnya, dari berjumlah 78 kasus, kini menurun drastis hingga nol. Demikian pula perkosaan yang sebelumnya 41 kasus menjadi nol.
Tetapi apakah itu tujuan yang sebenarnya dari penyelenggaraan pemerintahan. Bukankah pemerintahan bertujuan untuk mensejahterakan penduduknya, dan bukan hanya meminimalisir dampak dari tidak sejahteranya masyarakat. Karena masalah kriminalitas dimasyarakat merupakan hal yang sangat komplek, dan seringkali karena keadaan yang tidak memungkinkan dirinya untuk berbuat baik.
Memang menurut T .Yulianto, yang merupakan Direktur Eksekutif LSPMB, ada realitas sosial di balik pemberlakukan perda syariat Islam diberbagai daerah. Ternyata perda syariat Islam tidak bisa menjawab persoalan substansial bangsa tentang kemiskinan, kerusakan lingkungan, dan korupsi yang merajalela. Mengapa demikian, karena perda tersebut cenderung "menghukum" para pelaku kejahatan kelas teri (orang-orang kecil) seperti perjudian, pencurian, dan perzinahan. Ia tidak punya "taring" menghadapi pelaku korupsi kelas kakap, pembalak hutan, penjahat HAM yang justru memiliki kedekatan politik dengan para tokoh organisasi pendukung perda syariat Islam. Pemberlakuan syariat Islam di Aceh, misalnya, hanya mampu menghukum maling-penjudi-penzinah kelas teri.
Perda syariat Islam juga memiliki dimensi "pembalikan" terhadap nilai moralitas yang hakiki, karena menyerahkan kebenaran moral kepada para pemegang tafsir kebenaran agama yang dimiliki oleh para ulama yang dekat dengan kekuasaan. Dalam realitas politik, tokoh-tokoh Islam pendukung perda syariat Islam seperti Dien Syamsyudin, Syukri Fadholi, misalnya, di masa Orde Baru mereka menjadi bagian dari relasi politik "mutualistik" Soeharto dengan ulama.
Sementara berbagai organisasi radikal keagamaan semacam FPI, FBR, MMI selama ini hanya diam seribu bahasa terhadap perjuangan melawan ketidakadilan dan kezaliman kekuasaan. Baru, setelah rezim Soeharto bangkrut, mereka berani bergerak memperjuangkan prinsip ideologi mereka. Demikian juga MUI yang selama kekuasaan Orba tidak konsisten dalam memperjuangkan kepentingan mayoritas ummah Muslim yang berprofesi sebagai buruh dan petani dalam menghadapi himpitan sistem kapitalisme kroni Orba.
Perda syariat Islam sendiri sesungguhnya bukan merupakan solusi krisis ekonomi dan multidimensional bangsa ini. Kasus korupsi kelas kakap -yang ditengarai juga menjangkiti institusi keagamaan semacam Depag- tidak mungkin bisa diberantas dengan perda syariat Islam, karena banyak pelaku korupsi yang justru memiliki hubungan dekat dengan kekuasaan di pusat dan daerah.
Krisis ekonomi nasional yang diakibatkan oleh implementasi sistem kapitalisme kroni Orba dan berlanjut sistem neoliberalisme pemerintahan transisi semenjak Habibie hingga SBY-JK tidak akan bisa diselesaikan dengan syariat Islam. Itu karena banyak kelompok pendukung syariat Islam yang mendukung hadirnya kekuatan borjuasi ekonomi dengan label borjuasi Muslim atau pribumi.
Perda syariat Islam secara realitas, seperti tampak dan dirasakan masyarakat Aceh, hanya melahirkan ketertekanan politik kepada masyarakat bawah yang seolah-olah diatur dengan moralitas abstrak. Sementara para pejabat dan ulama menjadi pemegang kebenaran moral syariat agama. Perda syariat Islam tidak menjawab realitas korupsi di era otonomi daerah (otda).
Perda syariat Islam boleh jadi bisa menurunkan angka kejahatan dan penyakit masyarakat, namun tidak menurunkan kejahatan politik para elite politik dan birokrasi. Justru dari pengalaman negara-negara yang mempraktikkan syariat Islam secara ortodoks, tingkat ekonomi, kesetaraan hak rakyat, dan prestasi ipteknya sangat rendah.
Afghanistan, Somalia, dan Sudan barangkali bisa menjadi bukti keterpurukan negara yang menjalankan syariat Islam. Bisa dibandingkan dengan China, Vietnam, Bolivia, dan Libia yang menjalankan sistem sosialis dan sosialis-Islam ternyata lebih maju dan berkembang. Demikian juga Malaysia yang menjalankan asas Islam yang moderat pertumbuhan ekonominya jauh lebih maju.
Jika memang logika berpikir kelompok politik Islam ingin mengembangkan pelaksanaan perda Syariat Islam lebih banyak diberbagai daerah, seharusnya mereka mampu merumuskan derivasi perda syariat Islam yang mampu menjawab krisis multidimensional bangsa. Misalnya, dengan tegas berani menghukum mati koruptor kelas kakap, pelaku illegal logging dan penjahat HAM.
Perda yang diperlukan di daerah bukanlah perda yang memunculkan ketakutan-represi bagi masyarakat kecil, namun mampu menekan para elite pemimpin yang perilakunya merusak keadaban publik. Jangan sampai perda syariat Islam justru dijadikan tameng bagi para pejabat "berjenggot" dan "berjubah" untuk berbuat korupsi dan sekaligus menyisihkan hasil korupsi untuk mendanai kegiatan kelompok-kelompok pendukung perda syariat Islam.
Namun apabila seluruh masyarakat setia pada konsensus nasional, sebenarnyalah perda syariat Islam tidak diperlukan di Indonesia. Ideologi kita jelas: Pancasila. Tapi, menurut hemat penulis, perda syariat Islam hanyalah romantisme politik pasca-jatuhnya rezim kekuasaan Orba saja.


2 comments:

  1. sebenarnya dalam memahami perda itu harus utuh mas, artinya jangan sampai sbg muslim kita terbawa opini mereka yang memang membenci islam. sekarang saya mau tanya, kalau produk hukum dalam peraturan daerah itu baik, dan sesuai dengan kearifan lokal daerah tersebut, kenapa seolah-olah yang disalahkan syariat islamnya?

    sebagai contoh, perda miras, pelacuran, dll itu dikatakan syariat islam dan hanya mementingkan muslim? seolah olah-olah kalau ada aturan tersebut gara-gara syariat islam.
    dikit-dikit nyalahin syariat islam, dikit-dikit memojokan syariat islam. pokoknya kalau aturan yg baik-baik itu punyane syariat islam gitu???

    PADAHAL, aturan miras, pelacuran, perjudian dll itu juga masalah budaya, itu penyakit masyarakat. Kearifan lokal dan budaya indonesia serta norma yg berlaku dalam masyarakat sepakat mengatakan bahwa itu tidak baik.

    contoh terbaru yaitu Aceh menerapkan aturan wanita tidak boleh duduk ngangkang ketika bonceng sepeda motor. orang liberal dan kristen mengatakan itu perda syariat islam, itu melanggar HAM, dll.

    padahal kalau diteliti duduk ngangkang itu masalah adab dan budaya, tidak ada hubunganya dengan syariat islam, Nabi Muhammad membolehkan wanita naik kuda dengan ngangkang kok!

    jadi sebenarnya kalau bentuk aturan yg dikatakan orang sebagai perda syariat islam itu baik dan untuk tujuan yang baik dan sesuai dengan pancasila, kenapa dipermasalahkan, serta dianggap bahwa itu produk dari syariat islam.

    itu kan produk hukum dari proses demokrasi di DPRD . kalau toh kebetulan selaras dengan syariat islam itu karna memang islam itu sempurna, dan mencakup segala aspek. tidak seperti agama lain.

    kita jangan terpaku dengan nama PERDA SYARIAT, ITU MEMANG PENGGIRINGAN OPINI OLEH MUSUH ISLAM.

    kesimpulan, tulisan Anda sudah bagus, harapan saya Anda sebagai mahasiswa islam harus sadar dan punya benteng yg kokoh dari serangan pemikiran musuh islam untuk menggiring Anda membenci syariat agama Anda sendiri.

    terima kasih

    mohon maaf dan salam....

    ReplyDelete
  2. sangat setuju dg komen mas Tom

    ReplyDelete

silakan komen bozz asal sopan ,,, :-)